Kamis, 01 Maret 2012

Pengaruh Dunia Digital

Beberapa minggu yang lalu, saya pernah membaca sebuah majalah yaitu Kawanku. Di salah satu rubrik majalah tersebut, bisa dibilang sebuah artikel yang membahas tentang pengalaman-pengalaman yang sering terjadi dan sering dialami oleh orang-orang bahkan remaja dalam kehidupannya saat ini. Salah satunya adalah akibat kecanggihan teknologi yang semakin terus berkembang. Judul artikel tersebut adalah “Digital Narcissistic Personality Disorder”. Ketika membaca judulnya saja, saya langsung tertarik untuk membaca isinya lebih lanjut.

Dalam artikel tersebut dikatakan bahwa ini merupakan penyakit jiwa terbaru yang menjangkiti banyak orang sejak sosial media merajai kehidupan. Digital Narcissistic Personality Disorder  adalah kecenderungan mencintai diri kita sendiri secara berlebihan di dunia digital. Jika dilihat, sekarang ini setiap orang pasti mempunyai sebuah akun sosial bahkan bisa lebih di dunia maya. Sosial media atau jejaring sosial yang ditawarkan disana pun begitu banyak. Tinggal pilih, kita akan mendaftar di akun yang mana. Seperti Facebook dan Twitter yang saat ini lagi booming-boming-nya. Fitur Homepage dan Timeline yang ada pada Facebook dan Twitter adalah salah satu faktor yang semakin mendorong penyakit tersebut berkembang. Bagaimana tidak, kita bisa membuat perjalanan hidup mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi. Setiap saat dan setiap menit kita akan melaporkan apa saja yang sedang kita lakukan di dunia nyata ke dunia maya melalui sosial media tersebut.

Menurut teori Mark Zuckerberg bahwa setiap tahunnya kecenderungan orang menunjukkan dirinya di dunia online akan meningkat dua kali lipat. Jadi, jika kita meng-update status atau melakukan tweet sebanyak 5 kali sehari, kemugkinan tahun depan kita akan melakukannya sebanyak 10 kali dalam sehari. Jeremy Bentham, seorang filsuf Inggris, juga pernah berteori bahwa manusia cenderung bahagia saat orang lain memperhatikan kegiatannya. Ketika kita meng-upload foto, men-tweet, atau  meng-update status tentang sesuatu, misalnya sedang berada dimana atau lagi makan di sebuah restoran, timbul rasa senang ketika status kita di-Like atau di-Retweet apalagi sampai ditanggapi oleh orang lain yang tidak kita kenal. Kita jadi merasa bahwa orang-orang di luar sana memperhatikan dan peduli terhadap kita. Sehingga merasa tidak sendirian. Apalagi jika followers atau teman di Facebook banyak, kita pasti bangga dan merasa banyak orang yang akan memperhatikan kita.

Inilah yang pernah saya rasakan dan alami ketika saya benar-benar terikat oleh sebuah sosial media beberapa waktu yang lalu. Saya rela menghabiskan pulsa dan mengisinya setiap seminggu sekali hanya untuk bisa mengaksesnya lewat HP. Yang lebih parah lagi, makan jadi tidak teratur bahkan bisa lupa karena keasyikan online dan yang pasti waktu terbuang begitu saja secara percuma.

Nah, ketika saya melihat hasil kuliah semester IV dan target yang tidak tercapai, saya langsung introspeksi diri. Saya sudah sangat keterlaluan dengan sebuah akun sosial. Terlebih ketika saya bergabung dengan sebuah grup yang ada disana. Keinginan untuk mengaksesnya jadi lebih sering, karena saya tidak mau ketinggalan informasi. Setelah mengalami hal demikian, saya sadar bahwa saya telah banyak menghabiskan waktu demi sebuah sosial media dan melakukan sesuatu yang tidak berguna disana. Jadi, ketika semester V berlangsung, saya menonaktifkan sebuah akun sosial milik saya yaitu Facebook. Teman-teman saya merasa heran, mengapa tiba-tiba nama saya telah menghilang dari pertemanan mereka, dan bertanya kepada saya mengapa saya melakukannya. Tidak sedikit yang menyuruh saya untuk kembali mengaktifkannya. Tetapi saya tetap pada pendirian dan berkomitmen untuk melihat apakah ada perubahan yang dialami ketika saya tidak terikat oleh sebuah media sosial. Ternyata, setelah melakukannya, tidak ada yang berubah, saya merasa tidak ada yang berkurang dalam hidup saya dengan tidak mengaksesnya, dan juga tidak ketinggalan informasi. Justru saya bisa merasakan sesuatu yang lebih baik karena waktu yang dulunya terbuang percuma bisa dipakai untuk melakukan hal-hal yang lebih positif. Uang yang dulunya habis untuk mengisi pulsa bisa dimanfaatkan dan ditabung untuk membeli sesuatu yang diinginkan. Hingga semester V berakhir, saya bisa merasakan dan menikmati apa yang telah saya targetkan sebelumnya. Ternyata sebuah target itu bisa dicapai apabila kita bersungguh-sungguh dan fokus terhadap apa yang telah ditargetkan tersebut. Dan yang pasti harus berkomitmen untuk melakukannya sampai tuntas.

Memang perkembangan teknologi itu sangat bagus. Bisa membantu pekerjaan manusia menjadi lebih cepat. Pekerjaan yang dulunya bisa menghabiskan waktu berjam-jam, dengan bantuan teknologi bisa dikerjakan dalam waktu beberapa menit saja. Tetapi itu semua tergantung dari pemakai yang memanfaatkannya. Jika pemakai membawa ke arah yang positif maka ia akan merasakan manfaat yang sangat luar biasa. Tetapi jika pemakai hanya memanfaatkan untuk hal-hal yang tidak berguna, maka ia akan merasakan sesuatu yang sia-sia. Namun, kebanyakan dari kita tidak pernah sadar dengan apa yang telah kita lakukan. Sehingga kita akan terus-menerus melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak bermanfaat.

Kembali lagi ke pokok permasalahan Digital Narcissistic Personality Disorder. Tanpa sadar, kita sering membuat orang menjadi kesal, jengkel, marah, dan merasa terganggu. Saya juga pernah mengalami hal tersebut. Saya merasa terganggu dengan update-an dari teman-teman yang muncul di timeline 5 menit sekali hanya untuk melaporkan apa yang sedang mereka lakukan dan dikerjakan saat itu. Saya yakin, mungkin saya juga pernah melakukan hal tersebut terhadap orang lain. Namun seperti yang dikatakan tadi, kita tidak pernah sadar akan hal itu. Karena, kita tidak pernah memperdulikan nasib orang lain yang mungkin merasa terganggu dengan apa yang sedang kita lakukan. Dalam hati kita hanya terbesit yang penting eksis. Padahal jika kita berpikir, tidak semua orang menyukai hal-hal yang seperti itu. Jujur, terkadang jika saya merasa tidak nyaman dengan orang yang demikian, saya tidak segan untuk meng-unfollow orang tersebut. Dan itu juga yang terjadi ke diri saya sendiri. Saya juga di-unfollow oleh orang lain.

Teknologi itu sering menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh. Dan inilah yang sedang terjadi dikalangan anak-anak muda sekarang ini. Tak jarang kita dengar di berita, ada anak yang pergi dari rumah hanya untuk bertemu dengan teman Facebook-nya dan setelah itu tidak diketahui lagi dimana keberadaannya. Begitu juga dengan orang-orang yang sudah lama tidak bertemu akhirnya dipertemukan kembali melalui sosial media tersebut. Termasuk kakak saya yang mendapatkan jodoh melalui Facebook. He…he…

Memang internet itu penting dan sosial media juga penting. Tetapi, bertemu secara langsung dengan orang lebih penting. Kita bisa melihat gerak-geriknya, melihat bagaimana penampilannya, menyentuh pundaknya ketika ia sedang sedih dan yang paling penting menatap matanya. Kebanyakan di depan komputer tidak akan membuat kita luwes dalam bergaul. Kita tidak bisa terlihat percaya diri di depan orang lain. Kita juga tidak bisa lebih banyak berinteraksi secara langsung dan menjaga privasi dengan leluasa. Terutama, lebih besar kemungkinan untuk membandingkan kebahagiaan orang lain dengan kebahagiaan kita. Menurut saya, ini merupakan sesuatu yang sangat tidak baik untuk dilakukan. Sekali-sekali coba kita berhenti dari dunia digital dan merasakan betapa indahnya dunia nyata. Nikmati kesendirian dan berdialog dengan diri sendiri sehingga lebih tahu apa yang sedang kita inginkan dan apa yang tidak diinginkan. Dan yang pasti kita lebih percaya diri. Karena sesungguhnya kebahagiaan itu dirasakan dari dalam hati, bukan dengan cara memamerkan di Facebook atau Twitter, seperti yang dikatakan dalam artikel majalah tersebut.

Jadi, sekarang kembali lagi ke diri kita masing-masing. Apakah kita termasuk ke dalam orang-orang yang mengalami masalah Digital Narcissistic Personality Disorder? Jawabannya ada pada diri masing-masing, semua pilihan berada di tangan kita.


Hi, blogie...
Saya kembali. kali ini saya membawa tugas mengarang saya untuk mata kuliah Meodelogi Penelitian. Jadi, kami disuruh oleh dosen untuk membuat salah satu karangan yang bertipe Deskripsi, Narasi, Eksposisi, Argumentasi, atau Persuasi minimal 1000 kata maksimal 1500 kata.
Sejujurnya saya bingung, karangan saya tersebut masuk ke jenis mana. Tapi, saya berharap karangan itu bertipe karangan Argumentasi *maksa* he..he..
Total katanya adalah 1138 kata.

Wassalam...
*smile*

2 komentar:

  1. paragraf 2 copas ya????
    ayo ngaku...:p

    BalasHapus
    Balasan
    1. sejujurnya, cerita ini bukan hasil copas, tapi hasil ketikan ulang *ngeless* haha...ga juga ding!
      cerita ini hasil bacaan dari majalah dan aku perluas menurut pendapat aku, dan ada beberapa bagian yang aku kutip dari sana.

      Hapus